Selasa, 30 September 2014

[ Mohon Doa Restu ] - Wisuda Akbar 5 2014


[ AAM; Fadhilat Puasa Hari Arafah (09 Zulhijjah) Bagi Yang Tidak Mengerjakan Haji. ]


Koleksi Dartaibah

Puasa Arafah Ikut Wukuf di Arafah atau Ikut Pemerintah?


25 September 2014, 12:02 pm

puasa arafah




Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah ikut ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di Arafah pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.
Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?

Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya bersikap legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.

Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik. Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).

Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.

Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah yang diikuti.
Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan,

لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ

“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”

Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).

Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.

Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”

Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya. (Lihat Idem)
Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H)

Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah. Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.



Selesai disusun di Pesantren Darush Sholihin, 30 Dzulqo’dah 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[ Keutamaan Puasa Arafah ]


11 October 2013, 2:27 pm

anjuran, arafah, keutamaan, Puasa, Sunnah




Salah satu amalan utama di awal Dzulhijjah adalah puasa Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji.

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”

Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”

Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).

عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).

Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51) Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 7: 498-500).

Setelah kita mengetahui hal ini, tinggal yang penting prakteknya. Juga jika risalah sederhana ini bisa disampaikan pada keluarga dan saudara kita yang lain, itu lebih baik. Biar kita dapat pahala, juga dapat pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik. “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (harta amat berharga di masa silam, pen).” (Muttafaqun ‘alaih). “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).

Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk terus beramal sholih.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Minggu, 28 September 2014

Keterikatan Pengusaha Pada Hukum Syara'


Written By Abdur Rozaq on 28 November, 2012 | 4:26 PM


Keterikatan Pengusaha Pada Hukum Syara'
Beberapa waktu lalu, seorang teman yang kebetulan pakar dalam bidang ekonomi Islam dan sekaligus seorang ustadz ini berkata kepada saya, “Mas, sebenarnya kalau melihat realita saat ini, hampir mustahil ada seorang pengusaha Muslim yang sukses yang tidak terlibat dengan riba!” Mengejutkan, dan pembaca boleh setuju, boleh juga tidak. Tetapi setidaknya pernyataan itu bisa menjadi bahan introspeksi bagi kita umat Muslim-- jangan-jangan ada benarnya juga.
***

Di era yang serba terbuka ini, setiap orang bisa memilih apapun yang ia inginkan dengan berbagai cara yang ia bisa lakukan tanpa terkecuali. Dari cara yang paling halus hingga cara yang paling kasar. Dari cara yang paling santun sampai cara yang paling licik. Semuanya bisa kita pilih. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa sesungguhnya yang harus dipilih oleh seorang pengusaha Muslim dalam menjalankan setiap langkah bisnisnya?

Taat Adalah Pilihan
Orang bijak mengatakan, “Hidup ini sesungguhnya adalah pilihan-pilihan”. Dalam Islam, hidup di dunia ini lebih dari sekedar pilihan. Karena ia juga menjadi alat ukur tingkat keimanan seseorang. Pilihan-pilihan seseorang terhadap cara hidup menunjukkan orientasi keimanannya. Seorang pengusaha yang tidak pernah peduli dengan halal haram dalam praktik bisnisnya, menunjukkan setingkat itulah keimanannya pada hukum-hukum Islam, sekaligus menunjukkan tingkat keimanannya pada Allah serta Rasul-Nya dan memperlihatkan setinggi itulah tingkat ketaatannya.

Untuk selalu dalam ketaatan, dituntut memiliki sedikitnya tiga hal yang saling terkait. Yaitu pemahaman (mindset), ilmu (pengetahuan), dan konsistensi. Satu saja di antara ketiganya hilang akan mengakibatkan ketimpangan.

Mengapa Harus Taat ?
Pertama, Islam adalah agama (ad-diin) sekaligus seperangkat aturan hidup (an-nidzam) yang lengkap, meliputi semua aspek perbuatan manusia secara menyeluruh, sebagaimana disampaikan Allah SWT dalam Al-Maidah: 3, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu..” Demikian pula di dalam An-Nahl: 89, “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan sesuatu…” Dengan dua ayat di atas, maka Islam tidak memberikan peluang bagi siapa pun untuk terlepas dari ketaatan terhadap hukum syara.

Kedua, diturunkannya Islam dengan mengutus Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya adalah agar memperoleh rahmat bagi seluruh alam. Allah SWT berfirman : “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” [TQS. Al-Anbiya: 107]. Artinya, rahmat tidak akan turun kecuali hamba-Nya selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, demikian para mufasir mengartikan ayat di atas.

Ketiga, Allah menjanjikan pahala yang besar bagi siapa saja yang selalu taat kepada-Nya. Dalam Alquran Allah berfirman, “…kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. [TQS. At-Tin: 6]

Keempat, dalam dimensi keduniawian, ketaatan kepada perintah dan larangan Allah (hukum syara') akan memberikan ketenangan dan ketentraman bagi para pebisnis. Ia dapat merasakan nikmatnya manfaat dari hasil bisnis yang ia telah lakukan secara benar.

Kelima, setiap Muslim seyogyanya selalu taat karena Islam menggariskan kaidah : 'Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat'.
Semoga kita termasuk hamba Allah, para pengusaha yang senantiasa dalam ketaatan kepada Allah di setiap tarikan nafas, baik kala kita membuat rencana bisnis, melakukan penjualan, memenangkan negosiasi, maupun saat memberikan layanan terbaik kepada para mitra bisnis kita. Amin.[]


Artikrl : detik-bisnis.com

[ Dunia Tak Kenal Setia ]


28 Sep 2014 | 19:32
14119069961506339740 Keringat mengucur deras di muka laki-laki yang rambutnya telah memutih dipenuhi uban itu, tak terasa senja telah tiba, matahari telah bersiap untuk kembali ke peraduannya. Suara adzan magrib yang terdengar merdu dari masjid yang hanya berjarak 200 meter dari tempat ia mangkal seolah tidak berarti apa-apa, dia masih sibuk saja menghitung uang hasil tarikan becak sepedanya sepanjang hari ini sambil bersiap untuk pulang melepas lelah dan dahaga. Sudah hampir 15 tahun pria yang sudah memasuki usia senja itu berpropesi sebagai penarik becak di situ, tapi tidak sekalipun ia pernah menginjakkan kaki di masjid yang tak jauh dari tempat mangkalnya tersebut sekedar untuk mengikuti shalat berjamaah kecuali pada hari jum’at.
Ya, itu hanya sebuah gambaran kecil dari kerakusan manusia terhadap dunia, sehingga ia tidak sadar akan amanah besar yang sedang diembannya sebagai seorang hamba. Ialebih disibukkan dengan hayalan dan angan-angan yang terus merasuki hati bagai lautan luas tak bertepi, tidak peduli ombaknya yang bergelora, tak mengenal kata iba, melupakannya dari tujuan penciptaannya, “ibadah”. Memisahkannya dari cita-cita sesungguhnya, “surga”.
Begitulah dunia, membuat sebagian orang terkagum-kagum silau dengan kecantikan dan keindahannya. Yang kaya disibukkan oleh kekayaannya, dan yang miskin dilalaikan oleh kemiskinannya. Tidak sedikit manusia yang terlelap dibuai oleh nyanyian merdunya, membuat meraka merasa nyaman dan bahagia, padahal hakikatnya terkapar tak berdaya. Sadar atau tidak sadar, kebanyakan kita telah masuk ke dalam perangkap dunia.
Ironisnya, manusia sangat lemah dalam menghadapi dunia, selalu merasa kurang padahal orang lain belum tentu ada, merasa belum sempurna padahal semuanya serba tersedia. Pernahkah kita suatu hari melihat sebuah perahu kecil, robek layarnya, terombang-ambing dihantam gelombang lautan yang dengan mudah dapat membuatnya tenggelam ? Pernahkah kita memperhatikan sehelai daun yang kering setelah menguning berada di ujung ranting, dengan kelemahannya berusaha menghadang tiupan badai yang kapan pun bisa membuatnya gugur berjatuhan ? atau menyaksikan seekor burung yang lemah, patah sayapnya dikejar-kejar oleh binatang buas yang siap menerkamnya ? maka ketahuilah sesungguhnya seorang hamba terhadap godaan dunia tidak lebih kuat dari itu semua.
Namun walau pun demikian, tidak mustahil kita bisa selamat dari tipu daya dunia. Bukankah diantara tulang-tulang rusuk kita ada hati yang berdetak, di dalam kepala kita ada akal yang berfikir, dan di balik lapisan kulit kita ada darah yang berdesir, pergunakan itu semua untuk memahami dan merenungi hadist nabi SAW yang mulia ini,
“ Barangsiapa yang cita-citanya adalah akhirat, akan dijadikan kekayaannya berada di dalam hatinya, Allah satukan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya mau tidak mau. Dan barangsiapa yang cita-citanya adalah dunia, Allah jadikan kemiskinan itu di depan matanya, Allah cerai-beraikan urusannya, dan tidak akan datang dunia kepadanya kecuali hanya sekedar yang telah ditakdirkan untuknya,”
Sungguh miris menatap dunia masa kini, mata kita tidak akan melihat kecuali sesuatu yang menyihirnya, telinga kita tidak akan mendengar kecuali sesuatu yang memekakkannya, anggota tubuh tidak akan merasakan kecuali sesuatu yang membuatnya tak berdaya, hati dimasuki oleh sesuatu yang penuh dengan fitnah, akal hanya menangkap sesuatu yang bisa menyesatkannya. Disinilah iman berbicara dan menjadi pembeda, benteng utama untuk keselamatan kita, makanannya adalah ibadah, dan yang membangkitkan nyalanya adalah ketaatan kepada sang pencipta. Mengarungi kehidupan dunia tanpa iman, sama saja berperang tanpa senjata.
Kehidupan akan terus berjalan, detik waktu tidak akan pernah peduli dengan jeritan manusia yang ditimpa sengsara, maupun tawa riang mereka yang bersuka cita. Banyak orang berlalu menjauhi masa dengan kepalsuan, hingga tersadar ternyata dia sudah berada di penghujung kehidupan. Disaat itu dia mulai berharap dan mencari-cari tangan lembut dunia yang telah susah payah ia dapatkan, tapi sayang seribu sayang, dunia tak kenal setia. Sesuatu yang telah menyita seluruh waktu dalam hidupnya pergi menjauh meninggalkannya. Sesuatu yang telah menguras habis tenaganya beranjak berlalu memusuhinya. Kini tulang-tulangnya telah melemah, kebahagiaan jiwa dan ketentraman hati yang didambakan tak kunjung datang, harta yang banyak dan gelar terhormat yang disandang tak kunjung memberi ketenangan, Sepanjang hidupnya hanya dihabiskan untuk menjadi budak bagi dunia, di atasnya dia hidup, untuknya dia berlari, perhatian, tekad dan impiannya hanya untuk menggapai dunia yang akhirnya hanya berpaling mengkhianatinya.
Kairo, 28 September 2014. Menjelang fajar..

Artikel : Irfan Muhammad

[Selamat Menunaikan Shalat Maghrib Berjamaah]


[ Official Trailer Haji Backpacker ]

Subhanallah,


2 Oktober 2014

Sabtu, 27 September 2014

Maghrib. Sabtu,27 September 2014 | Staff Blch

listenmore > Maghrib. Sabtu,27 September 2014 | Staff Blch

Alhamdulillah maksih Yaa Allah udah ngasi kesempatan untuk kami shalat berjamaah. mudah-mudahan ini the beginning untuk kami bersatu berjamaah dalam hal apapun.

The Best Preparation Is Shalat.


The Beauty Of Islam | mencari ridho illahi


Jumat, 26 September 2014

[ Naikin Kopetensi ]

Qul,,,,
Saya Muslim, saya harus taat.

Saya Muslim, saya harus takwa.

Saya Muslim, saya harus bersih.

Saya Muslim, saya harus rapih rambutnya.

Saya Muslim, tatapan saya harus selalu gembirrraaa terus.

     Umar,Usman,Ali pada pas sakaratul mautnya, semua itu, Abu bakar enggak adak nampakin susahnya itu enggaaak ada..

Jadi orang yang No.1 gitu.  jadi orang yang the best yaa.

Semaaangat saudara..  jangan ampe kita jadi The looser.

Bismillah, Bi idznillah yaa.


Bagaimana Peluang Menjadi kembang?

Bagaimana Peluang Menjadi kembang? ,kembang menjadi buah?

PR yaa, :)


[ Andai 1jam 1ayat ]


Yuk, listen more ;)  Andai 1jam 1ayat  Jangan lupa bedoa dulu ya,


Kamis, 25 September 2014


[ Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi di Hari Jum’at ]

Diantara amal yang dianjurkan untuk dikerjakan di malam atau hari Jum’at adalah



membaca surat Al Kahfi.
   Dalam hadits, membaca surat Al Kahfi kadang disebutkan dengan redaksi لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ (malam Jum’at) dan kadang disebutkan يَوْمِ الْجُمْعَةِ (hari Jum’at). Artinya, waktu disunnahkannya membaca surat Al Kahfi dimulai dari tenggelamnya matahari pada hari Kamis hingga sesaat menjelang matahari tenggelam di hari Jum’at. Membaca surat Al Kahfi di rentang waktu itu memiliki keutamaan besar.

Berikut ini 3 diantara keutamaan membaca Surat Al Kahfi di hari Jum’at:

1. Dipancarkan cahaya pada dirinya di hari kiamat kelak, dari kaki hingga ke langit

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ


“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya antara dirinya hingga baitul Atiq.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Albani)

2. Diampuni dosanya antara dua Jum’at

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ


“Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua jumat.” (Hadits riwayat Ibnu Umar dalam at-Targhib wa al- Tarhib)

3. Diselamatkan dari fitnah Dajjal

“Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari permulaan surat al-Kahfi, maka ia dilindungi dari Dajjal.” (HR. Muslim)

Demikian 3 Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi di Hari Jum’at, semoga semakin memotivasi kita untuk mengamalkannya.

Artikel :
Tausiyah Islami

[ Hidayah Menjadi Lebih Mudah ] Ustdz. Ir. Felix Siauw

Sebelum belajar jangan lupa be'doa yaa, yuk, :)


Rabu, 24 September 2014


    Minta doanya saudara-saudara semua, 
mudah-mudahan ardi dan saudara-saudara dan semua umat di ridhoi Allah azza wa jalla. 
   Bantu sholawat 10x, tasbih 10x, istigfar 10x,
al-fatiha.aamiin
mksh banyak yaa uda nemenin doa.
  Bismillah, bi idznillah sampai akhir hayat. semangat terus untuk mencari ridho illahi. aamiin.


[ Keutamaan Surah Al-Waqiah ] - Ustadz Yusuf Mansur

Bagaimana dengan Ust Yusuf Mansur dalam mengemukakan pendapatnya? Serta hikmah apa saja yang terkandung di dalam Al Waqiah itu sendiri? Selamat menyimak video Khasiat Surat Al Waaqiah 
oleh Ust. Yusuf Mansur. Yuk,simak :)
 jangan lupa bedoa dulu ya.. Bismillah, alhamdulillah, shalawat, tasbih, istigfar, al-fatiha. aamiin


Fadhilah Surah Al-Waaqi'ah
Asbabun Nuzul Surah Al Waaqi'ah
Al Waaqi'ah Surah Kekayaan?

Artikel :
sholat-dhuha.info

Selasa, 23 September 2014

Ustadz. Yusuf Mansur. [Mengapa kita begini, Mengapa kita begitu. - 10 Dosa Besar]



Sayyidul Istighfar & Jaminan Surga




Senin, 22 September 2014

Jadi Muslim Kudu Baik

[ Al-Qur'an Mengajarkan Quantum ] bagian 1


Minggu, 21 September 2014

Lalai untuk Belajar Islam

1 May 2011, 7:00 am
belajar islam, menuntut ilmu

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari, kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.

Merenungkan Ayat

Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,

                   يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)

Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)

Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)

Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125)

Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang menyedihkan.

Bahaya Jahil akan Ilmu Agama

Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain yang mencontoh dirinya.

Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

                                                فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyahketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal. Mu’adz bin Jabal berkata,

                                                         العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

                                                 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

                                        مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)

Beri Porsi yang Adil

Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu dunia bisa menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat.

Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3, menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung, namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang harus dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia pelajari.

Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter, engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

                                                          مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

     إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)

Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan keseharian mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)

Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[ Quantung Changing ] percepatan perubahan


The Beauty Of Islam. mencari ridho illahi. | Official



Pelajaran Dasar Agama Islam


Berikut ini adalah kumpulan artikel-artikel muslim.or.id yang dianjurkan untuk belajar Islam mulai dari dasar.


Aqidah
Agama Islam
Rukun dan Makna Islam
Penjelasan Ringkas Rukun Islam 1
Penjelasan Ringkas Rukun Islam 2
Islam, Iman dan Ihsan
Agama Islam untuk Seluruh Manusia
Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah
Tiga Pokok Ajaran Islam
Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid
Agar Ibadah Diterima di Sisi Allah
Awas Syirik ! (1)
Iman Kepada Allah
Iman Kepada Malaikat
Iman Kepada Kitab Allah
Iman Kepada Utusan Allah
Iman Kepada Hari Akhir
Iman Kepada Takdir
Akhlak
Lalai untuk Belajar Islam
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam
Kemuliaan Ilmu dan Ulama
Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu
Tahapan Dalam Menuntut Ilmu
Pengaruh Teman Bergaul
Menebar Kasih Sayang
Tawakkal
Jangan Marah…
Bahaya Lisan
Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua
Hakikat Sabar (1)
Hakikat Sabar (2)
Tebarkan Salam
Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah
Sombong vs Tawadhu
Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh
Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu
Miskin Tapi Kaya
Manhaj
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (1)
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (2)
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (3)
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran
Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if
Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum
Mengapa Harus Manhaj Salaf ?
Mari Mengenal Manhaj Salaf
Mengenal Salaf dan Salafi
Beginilah Seharusnya Seorang Salafy
Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Mana Bukti Cintamu pada Nabi?
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi
Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran
Walau Engkau Seorang Diri dalam Kebenaran
Terorisme dan Pengeboman
Pengeboman = Jihad???
Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi
Al Qur’an
Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an
Adab Membaca Al-Quran
Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits
Tafsir Surat Al-Fatihah
Tafsir Ayat Kursi
Fiqih dan Muamalah
Macam-Macam Najis
Cara Membersihkan Najis
Panduan Praktis Tata Cara Wudhu
Fiqih Wudhu
Pembatal Wudhu
Fiqih Tayammum
5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib
Tata Cara Mandi Wajib
Waktu-Waktu Shalat
Rukun-Rukun Shalat
Syarat dan Rukun Puasa
Pembatal-Pembatal Puasa
Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)
Yang Dibolehkan Ketika Puasa (2)
Panduan Zakat (1): Keutamaan Menunaikan Zakat
Panduan Zakat (2): Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat
Panduan Zakat (3): Syarat-Syarat Zakat
Tuntunan Ibadah Haji (1)
Tuntunan Ibadah Haji (2)

Jika Doa Kita Tidak Dikabulkan



  Mungkin ada di antara kita yang telah banyak menengadahkan tangannya untuk berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh tetapi ternyata Allah subhanahu wa ta’ala tidak atau belum mengabulkan doanya. Padahal semua sebab-sebab dikabulkan doa telah dilakukannya, seperti:
Ikhlas dan tidak berbuat syirik.
Memulai dengan pujian dan salawat.
Dengan sungguh-sungguh dan tidak lalai.
Yakin akan dikabulkan oleh Allah.
Memilih waktu dan tempat mustajab.
Meninggalkan makanan, minuman dan pakaian haram.
Meninggalkan maksiat dan bertaubat.
Mengerjakan ketaatan dan bertawasul dengan nama-nama Allah, dan lain-lain.

Dia berkata, “Ada apa gerangan? Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Allah Maha Kuasa dan mengabulkan doa-doa hamba yang berdoa kepada-Nya? Apakah Allah tidak sayang kepadaku? Bukankah Allah mengatakan:

{ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}

‘Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.’ (QS Ghafir: 60).”

Sabarlah wahai Saudaraku sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلاَّ آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ.

“Tidak ada seorang pun yang berdoa dengan sebuah doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang dimintanya atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya, selama dia tidak berdoa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.”1

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ ، قَالَ : اللَّهُ أَكْثَرُ.

“Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan sebuah doa yang tidak terkandung di dalamnya dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikannya salah satu dari ketiga hal berikut: Allah akan mengabulkannya dengan segera, mengakhirkan untuknya di akhirat atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya.

Para sahabat berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Beliau berkata, “Allah lebih banyak lagi.”2

Dari kedua hadits di atas kita dapat memahami bahwa seseorang yang telah benar-benar melaksanakan sebab-sebab dikabulkannya doa, insya Allah doanya akan dikabulkan oleh Allah. Jika tidak dikabulkan, maka akan diakhirkan atau diberikan kebaikan oleh Allah di hari kiamat atau Allah akan sengaja tidak mengabulkan doanya di dunia agar dia terhindar dari akibat buruk apabila doa tersebut dikabulkan dan Allah memalingkannya kepada sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia minta.

Pada hadits kedua, kita dapat melihat semangat para sahabat dalam beribadah, mereka mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Itulah yang seharusnya kita lakukan kepada Allah, yaitu memperbanyak doa kepada Allah.

Adapun perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah lebih banyak lagi”, para ulama menyebutkan beberapa makna dari perkataan tersebut, di antaranya:
Allah akan lebih banyak mengabulkannya daripada banyaknya doa yang kalian minta.
Allah akan lebih banyak memberikan karunia dan keutamaan daripada doa yang kalian minta.
Allah tidak akan lemah dengan banyaknya permintaan kalian dan lain-lain.

Dengan melihat kedua hadist di atas dengan lafaz yang berbeda, maka tentu kita akan bertambah yakin bahwa Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui seluruh hikmah dan Maha Sayang kepada hamba-hambanya.

Mudah-mudahan kita bisa terus bersabar menghadapi kehidupan di dunia ini dan mensyukuri seluruh apa yang Allah berikan kepada kita serta bisa selalu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Di dalam hadits qudsi Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan

(( أنا عندَ ظنِّ عبدي بي ، فليظنَّ بي ما شاء ))

“Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Oleh karena itu, berprasangkalah terhadap-Ku sesuka hatinya.”3

Dan di dalam riwayat lain terdapat tambahan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

(( فلا تظنُّوا بالله إلا خيراً ))

“Janganlah kalian berprasangka kepada Allah kecuali dengan prasangka yang baik.”4

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

**

16 Dzul-qa’dah 1435 H/11 September 2014

Ma’had Imam Al-Bukhari, Karang Anyar, Jawa Tengah


Daftar Pustaka
Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam. Ibnu Rajab Al-Hanbali.
Tuhfatul-Ahwadzi Bisyarhi Jami’ At-Tirmidzi. Al-Mubarakfuri.
Dan lain-lain sebagian besar tercantum di footnotes.


Catatan kaki


1 HR At-Tirmidzi no. 3381. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.


2 HR Ahmad 11133 dari Abu Said Al-Khudri. Sanad-nya dinyatakan jayyid oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk.


3 HR Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675.


4 HR Ibnu Abid-Dunya dalam ‘Kitab Husni Dzhanni Billah’ no. 84.



Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id